Sabtu, 23 Maret 2013

Manfaat PRUhospital & Surgical

MANFAAT PRU HS SYARIAH TYPE A by jiddysuriani

Prudential Syariah Kuasai Pangsa Pasar Asuransi Syariah

Sabtu, 10 November 2012

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Asuransi jiwa Prudential Indonesia tidak hanya menguasai pasar konvensional saja.

Unit usaha syariah Prudential Indonesia juga mendominasi pangsa pasar asuransi syariah Indonesia.

Hingga tengah tahun 2012 perusahaan asuransi terbesar ini menguasai 42 persen pangsa pasar premi asuransi syariah Indonesia.

Hingga Juni 2012 premi Prudential Syariah mencapai Rp 997,9 miliar atau tumbuh 24,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

"Sedangkan pangsa pasar aset Prudential Syariah berkontribusi 32 persen terhadap total aset asuransi syariah," ujar Presiden Direktur Prudential Indonesia, William Kuan, dalam media gathering Prudential Syariah, Jumat (9/11).

Baiknya pertumbuhan Prudential Syariah ini disebabkan oleh tiga faktor, lanjut William. Pertama, gencarnya sosialisasi syariah dan asuransi syariah yang ada di Indonesia. Hal ini menambah edukasi masyarakat terhadap industri syariah di Indonesia.

Kedua pertumbuhan ini disebabkan oleh baiknya penjelasan yang diberikan oleh tenaga pemasaran Prudential Indonesia kepada masyarakat. Dan terakhir, pertumbuhan tersebut ditopang oleh besarnya kepercayaan masyarakat terhadap nama Prudential.

Dengan hasil ini, kontribusi syariah di Prudential mencapai 10 persen. Sejauh ini pemegang polis syariah di Prudential Indonesia mencapai 254 ribu orang. Jumlah ini meningkat tujuh kali lipat sejak Prudential Syariah pertama kali diluncurkan pada 2007.

Ke depan bisnis asuransi syariah akan terus meningkat. Prudential telah mengadakan survei kepada 3.000 responden terkait asuransi syariah. Hasilnya, kata William, baru satu persen responden yang menggunakan asuransi syariah.

Sisanya belum dan belum teredukasi dengan baik. "Ini potensi bagi Prudential," kata dia. Selain pertumbuhan premi dan aset yang mengagumkan, pertumbuhan premi baru juga menjadi indikator baiknya pencapaian yang diraih Prudential syariah.

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/12/11/10/mda0jn-prudential-syariah-kuasai-pangsa-pasar-asuransi-syariah

Jumat, 08 Maret 2013

ISEA: Asuransi Syariah Harus Punya UU Tersendiri

dakwatuna.com – Jakarta. Asuransi syariah harus dibuatkan undang-undang tersendiri karena memiliki prinsip yang berbeda dengan asuransi konvensional, kata Wakil Ketua Badan Pengurus Indonesian Senior Executive Association (ISEA) Sri Hadiah Watie.

“Asuransi syariah perlu diatur tersendiri, jangan dicampur aduk dengan yang lain,” kata Sri usai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) RUU Usaha Perasuransian di Kompleks Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa.

Menurut dia, perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional adalah syariah itu didasarkan prinsip berbagi, keuntungan maupun kerugian dibagi kedua belah pihak. Karena itu penggunaan kata polis, menurut dia tidak tepat digunakan untuk asuransi syariah.

“Polis itu hanya untuk akte tertulis asuransi, sedangkan syariah bukan asuransi, bukan transfer of risk, jadi asuransi syariah seharusnya tidak boleh memakai kata polis,” katanya.

Lebih lanjut dia mengatakan bila nantinya dibuat undang-udang yang mengatur asuransi syariah agar dinamakan Undang-undang Pengelolaan Risiko Syariah karena prinsip asuransi syariah berbeda dengan asuransi konvensional.

Terkait pembahasan RUU Usaha Perasuransian, Sri menambahkan pihaknya berpendapat RUU perlu diperbarui dan disesuaikan dengan perkembangan di sektor industri perasuransian itu sendiri.

“UU Usaha Perasuransian yang sebelumnya adalah UU Nomor 2 Tahun 1992 telah berusia 20 tahun dan hanya mengatur tentang bisnis asuransi dianggap sudah ketinggalan jaman,” katanya.

Selain itu, ditambah lagi dengan hadirnya produk-produk keuangan hibrida atau produk-produk keuangan lintas sektor seperti Unit Link, Surety Bond yang telah menimbulkan risiko baru dan wilayah abu-abu dalam pelaksanaan pengaturan industri perasuransian. (A064/S025/Ruslan Burhani/Ant)

Redaktur: Hendratno

Rabu, 27 Februari 2013

Kunci Kesuksesan

Oleh : Pirman

dakwatuna.com - Islam sebagai rahmat bagi semesta merupakan paket lengkap yang tidak memerlukan tambahan sedikit pun. Ia adalah sebuah ajaran multi dimensi yang bisa dipraktekkan di segala bidang, di semua tempat. Ia ibarat rumah yang bisa memenuhi semua kebutuhan penghuninya, bahkan ia bisa turut memfasilitasi orang-orang yang berada di luar rumah itu.

Di dalam Islam, terdapat banyak cara yang memang sudah Allah siapkan penganutnya mencapai kesuksesan (kebahagiaan) di dunia, terlebih kesuksesan abadi di akhirat kelak. Bahkan, hanya dengan melaksanakan satu cara saja, maka kesuksesan bisa digenggam oleh seorang hamba yang benar dalam meyakini dan menjalaninya. Tentunya, jika hal tersebut dilakukan dengan benar sesuai dengan apa yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadits Rasul.

Salah satu cara yang bisa ditempuh agar seorang hamba mendapatkan kesuksesan dunia dan akhirat itu adalah Tawakal. Sebuah kata multi makna yang seringkali disalahmaknai oleh umat Islam itu sendiri. Di mana tawakal sering dipahami sebagai pasrah tanpa upaya. Hal inilah yang perlu diluruskan agar umat Islam kembali memegang tampuk kekuasaan dunia guna menebarkan kejayaan di semua bidang.

Disebutkan dalam sebuah riwayat oleh Ibnu Hibban, bahwa ada seorang badui yang tidak mengikat untanya dengan berdalih bahwa ia bertawakal. Lantas, sang nabi pun bersabda, “Ikatlah untamu dan bertawakallah.”
Kita juga mendapati bahwa Rasulullah dan Abu Bakar ash-Shidiq bersembunyi di gua Tsur saat dikejar orang-orang kafir dalam peristiwa hijrah. Sedangkan jika mau, maka beliau berdua bisa saja menampakkan diri karena keduanya dalam lindungan Allah. Namun, persembunyian yang dilakukan oleh keduanya adalah satu sarana ikhtiar yang kemudian dengannya mereka bertawakkal.

Di dalam setiap peperangan pun demikian. Beliau memakai baju besi, mempersiapkan senjata, bekal juga strategi sebagai wujud ikhtiar. Dan selebihnya, kaum muslimin bertawakal. Menyerahkan semuanya kepada Allah. Maka, tawakal adalah mengambil sebab yang diperintahkan kemudian menyerahkan urusannya kepada Allah.

Ciri Keimanan

Iman adalah kombinasi antara yakin, ucapan dan tingkah laku. Maka iman, mempunyai bermacam ciri. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal. (QS al-Anfal [8]:2)

Tawakal merupakan satu dari sekian banyak ciri keimanan seorang hamba. Dalam banyak ayat, Allah juga berkali-kali menegaskan bahwa yang bisa melakukan tawakal hanyalah orang-orang yang benar Islam dan imannya.

Berkata Musa, “Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri.” (QS Yunus [10]: 84) Tawakal, adalah bukti, apakah keyakinan kita kepada Allah sekadar ucapan, atau benar adanya, “Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.” (QS Ali Imran [3]:122)

Kunci Kesuksesan

Kesuksesan sejati bagi seorang muslim yang mukmin adalah ketika mereka bisa meyakini Allah di atas segalanya. Maka tawakal merupakan sebuah pengakuan tulus bahwa manusia sejatinya memang lemah sedangkan Allah Maha Kuat atas segala sesuatu. Sehingga, mereka menggantungkan semuanya kepada Sang Maha setelah usaha yang dilakukan mencapai derajat maksimal.

Tawakal adalah sebuah janji dari Allah. Bahwa siapa yang melakukannya, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya. Allah berfirman, “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS ath-Thalaq [65]:3)

Dalam menafsirkan ayat ini, Sayyid Quthb mengatakan, “Maka sikap bertawakal kepada Allah adalah sikap bergantung dan berserah diri kepada kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa dan kekuatan yang Maha Perkasa, yang Maha Berkehendak atas apa yang diinginkanNya, yang Maha Menyempurnakan atas apa yang dikehendakiNya.

Terkait tawakal sebagai cara agar semua kebutuhan tercukupi, Umar bin Khaththab mendengar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepadamu sebagaimana Allah memberikan rezeki kepada burung yang berangkat pagi hari dalam keadaan lapar lalu pulang di sore hari dalam keadaan kenyang. (HR Tirmidzi, hadits hasan)

Burung yang pergi mencari makan di pagi hari tidaklah membawa bekal apa-apa. Hanya berbekal insting, mereka terbang dari satu tempat menuju tempat lainnya. Dan karena upayanya itu, karena geraknya itu, Allah memberikan mereka anugerah rezeki yang tak terhingga sehingga ketika sore menjelang, tembolok mereka sudah penuh dengan makanan yang Allah berikan.

Agar Tidak Diganggu Setan

Sayangnya, dalam proses menuju kepada kesuksesan itu, setan sebagai satu-satunya musuh abadi umat manusia tidak akan pernah diam. Bahkan, dalam banyak riwayat disebutkan bahwa setan akan mencari masa sebanyak-banyaknya untuk diajak masuk ke dalam neraka jahannam. Hebatnya, mereka sudah diberi otoritas oleh Allah untuk menggoda manusia agar tersesat dengan berbagai cara, dalam setiap kondisi, di sepanjang kehidupan hingga kiamat terjadi.

Oleh karena itu, kita harus senantiasa mendekatkan diri kepada Allah agar terlindung dari godaan setan yang terkutuk. Dalam sebuah ayat disebutkan bahwa tawakal merupakan jalan yang dijamin oleh Allah. Bahwa ketika kita melalui jalan tersebut, setan tidak akan bisa mengganggu kita. “Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya.” (QS an-Nahl [16]:99)

Dicintai Allah dan Dijamin Surga

Dalam proses perjalanan spiritual seorang hamba, dicintai Allah merupakan tujuan yang tidak bisa ditawar lagi. Bahkan, kaum sufi seringkali mengatakan bahwa surga yang didapatkan pun akan sia-sia belaka ketika cinta dari Allah tidak mereka dapatkan. Maka dicintai Allah, adalah harga mati agar nikmat yang diberikan, di dunia atau akhirat, berupa senang atau susah, bisa menjadikan seorang hamba makin dekat denganNya. Karena kedekatan dengan Allah merupakan salah satu indikasi apakah seseorang dicintaiNya, atau sebaliknya.

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS Ali Imran [3]:159). Dalam ayat ini Allah menegaskan. Bahwa tawakal merupakan salah satu jalan yang bisa ditempuh bagi siapa saja yang ingin dicintai oleh Allah. Dalam ayat ini, tawakal juga berkedudukan sama dengan taqwa, ikhlas dan aneka amal shalih lainnya, di mana pelakunya bisa mendapatkan ganjaran dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’alaa.

Maka, ketika Allah sudah mencintai seorang hamba, penduduk langit dan bumi pun akan berbondong-bondong mencintai hamba tersebut. Sehingga surga yang Allah janjikan, akan diberikan kepada siapa yang dicintaiNya. Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Beberapa kaum yang hatinya seperti burung (bertawakal), akan masuk surga” (HR Muslim). Sedangkan dalam hadits lain disebutkan, “Surga akan dimasuki oleh 70.000 orang tanpa hisab. Mereka adalah orang-orang yang tidak membakar dirinya dengan besi, tidak minta dijampi-jampi, tidak merasa sial karena adanya sesuatu dan bertawakal kepada Tuhannya.” (HR Bukhari)

Yang perlu dicatat, bahwa tawakal dilakukan setelah ikhtiar manusiawi dilakukan dengan sempurna. Kemudian kita menyerahkan semuanya kepada Allah yang Maha Kuasa. Semoga kita termasuk dalam kalangan orang-orang yang bertawakal kepada Allah. Sehingga kesuksesan di dunia dan akhirat akan Allah berikan kepada kita. Aamiin. Wallahu A’laam bish-Showab.

Rabu, 20 Februari 2013

Perasuransian dan Hukum Asuransi dalam Islam (Bagian 2)

Oleh : Dr. Setiawan Budi Utomo
 
Prinsip Operasional Asuransi Syariah

dakwatuna.com – Prinsip utama dalam perasuransian syariah adalah ta’awanu ‘alal birri wa al-taqwa (tolong-menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan takwa) dan al-takmin (rasa aman). Prinsip ini menjadikan para anggota atau peserta asuransi sebagai sebuah keluarga besar yang satu dengan lainnya saling menjamin dan menanggung risiko. Hal ini disebabkan transaksi yang dibuat dalam asuransi takaful adalah akad takafuli (saling menanggung), bukan akad tabaduli (saling menukar) yang selama ini digunakan oleh asuransi konvensional, yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan.

Para ulama dan ahli ekonomi Islam mengemukakan bahwa asuransi syariah atau asuransi takaful ditegakkan atas tiga prinsip utama, yaitu:

1. Saling bertanggung jawab, yang berarti para peserta asuransi takaful memiliki rasa tanggung jawab bersama untuk membantu dan menolong peserta lain yang mengalami musibah atau kerugian dengan niat ikhlas, karena memikul tanggung jawab dengan niat ikhlas adalah ibadah. Hal ini dapat diperhatikan dari hadits-hadits Nabi saw. berikut:
”Kedudukan hubungan persaudaraan dan perasaan orang-orang beriman antara satu dengan lain seperti satu tubuh (jasad) apabila satu dari anggotanya tidak sehat, maka akan berpengaruh kepada seluruh tubuh” (HR. Bukhari dan Muslim).
”Seorang mukmin dengan mukmin yang lain (dalam suatu masyarakat) seperti sebuah bangunan di mana tiap-tiap bagian dalam bangunan itu mengukuhkan bagian-bagian yang lain”(HR. Bu­khari dan Muslim).
”Setiap kamu adalah pemikul tanggung jawab dan setiap kamu bertanggung jawab terhadap orang-orang yang di bawah tanggung jawabmu” (HR. Bukhari dan Muslim).
”Seseorang tidak dianggap beriman sehingga ia mengasihi saudaranya sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri” (HR. Bukhari).
“Barang siapa yang tidak dianggap beriman sehingga ia mengasihi saudaranya sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri” (HR. Bukhari).

Rasa tanggung jawab terhadap sesama merupakan kewajiban setiap muslim. Rasa tanggung jawab ini tentu lahir dari sifat saling menyayangi, mencintai, saling membantu dan merasa mementingkan kebersamaan untuk mendapatkan kemakmuran bersama dalam mewujudkan masyarakat yang beriman, takwa dan harmonis.
Dengan prinsip ini, maka asuransi takaful merealisir perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Rasulullah SAW dalam al-Sunnah tentang kewajiban untuk tidak memerhatikan kepentingan diri sen­diri semata tetapi juga mesti mementingkan orang lain atau masyarakat.

2. Saling bekerja sama atau saling membantu, yang berarti di antara peserta asuransi takaful yang satu dengan lainnya saling bekerja sama dan saling tolong-menolong dalam mengatasi kesulitan yang dialami karena sebab musibah yang diderita. Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Maidah ay at 2 yang artinya:
“Bekerjasamalah kamu pada perkara-perkara kebajikan dan takwa, dan jangan bekerja sama dalam perkara-perkara dosa dan permusuhan.”
Hadits juga membicarakan perkara seperti ini, di antaranya yaitu:
“Barang siapa yang memenuhi hajat (kebutuhan) saudaranya, Allah akan memenuhi hajatnya” (HR Bukhari, Muslim dan Abu Daud).
“Allah senantiasa menolong hamba selagi hamba itu menolong saudaranya” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Dengan prinsip ini maka asuransi takaful merealisir perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Rasulullah SAW dalam al-Sunnah tentang kewajiban hidup bersama dan saling menolong di antara sesama umat manusia.

3. Saling melindungi penderitaan satu sama lain, yang berarti bahwa para peserta asuransi takaful akan berperan sebagai pelindung bagi peserta lain yang mengalami gangguan keselamatan berupa musibah yang dideritanya. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Quraisy ayat 4 yang artinya:
“(Allah) yang telah menyediakan makanan untuk menghilangkan bahaya kelaparan dan menyelamatkan/mengamankan mereka dari mara bahaya ketakutan.”

Hadits Nabi saw. “Sesungguhnya seseorang yang beriman ialah siapa yang dapat memberi keselamatan dan perlindungan terhadap harta dan jiwa raga umat manusia.” (HR. Ibnu Majah)
Dengan begitu maka asuransi takaful merealisir perintah Allah dalam Al-Qur’an dan Rasulullah SAW dalam al-Sunnah tentang kewajiban saling melindungi di antara sesama warga masyarakat.

Karnaen A. Perwataatmadja mengemukakan prinsip-prinsip asu­ransi takaful yang sama, namun beliau menambahkan satu prinsip dari prinsip yang telah ada yakni prinsip menghindari unsur-unsur gharar, maisir dan riba. Sehingga terdapat 4 prinsip asuransi syariah yakni:
1. Saling bertanggung jawab;
2. Saling bekerja sama atau saling membantu;
3. Saling melindungi penderitaan satu sama lain; dan
4. Menghindari unsur gharar, maisir dan riba.
Beberapa indikator dan kriteria yang menentukan usaha asuransi sesuai syariah atau tidak, yaitu harus dipastikan terhindar dari unsur gharar, maisir dan riba.

1. Gharar (uncertainty) atau ketidakpastian, ada dua bentuk [9]:

a. Bentuk akad syariah yang melandasi penutupan polis. Secara konvensional, kontrak atau perjanjian dalam asuransi jiwa dapat dikategorikan sebagai akad tabaduli atau akad pertukaran yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara harfiah dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang dibayarkan dan berapa yang diterima. Keadaan ini menjadi rancu (gharar) karena kita tahu berapa yang akan diterima (sejumlah uang pertanggungan), tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan (sejumlah seluruh premi) karena hanya Allah yang tahu kapan seseorang akan meninggal. Dalam konsep syariah keadaan ini akan lain karena akad yang digunakan adalah akad takafuli atau tolong-menolong dan saling menjamin di mana semua peserta asuransi menjadi penolong/ penjamin satu sama lainnya.

b. Sumber dana pembayaran klaim dan keabsahan syar’i penerima uang klaim itu sendiri. Dalam konsep asuransi konvensional, peserta tidak mengetahui dari mana dana pertanggungan yang diberikan perusahaan asuransi berasal. Peserta hanya tahu jumlah pembayaran klaim yang akan diterimanya. Dalam konsep takaful, setiap pembayaran premi sejak awal akan dibagi dua, masuk ke rekening pemegang polis dan satu lagi dimasukkan ke rekening khusus peserta yang harus diniatkan tabarru’ atau derma untuk membantu saudaranya yang lain. Dengan kata lain, dana klaim dalam konsep takaful diambil dari dana tabarru yang merupakan kumpulan dana shadaqah dari para peserta.

2. Maisir (gambling/untung-untungan) artinya ada salah satu pihak yang untung namun di lain pihak justru mengalami kerugian. Unsur ini dalam asuransi konvensional terlihat apabila selama masa perjanjian peserta tidak mengalami musibah atau kecelakaan, maka peserta tidak berhak mendapatkan apa-apa termasuk premi yang disetornya. Sedangkan, keuntungan diperoleh ketika peserta yang belum lama menjadi anggota (jumlah premi yang disetor sedikit) menerima dana pembayaran klaim yang jauh lebih besar. Dalam konsep takaful, apabila peserta tidak mengalami kecelakaan atau musibah selama menjadi peserta, maka ia tetap berhak mendapatkan premi yang disetor kecuali dana yang dimasukkan ke dalam dana tabarru’.

3. Unsur riba tercermin dalam cara perusahaan asuransi konven­sional melakukan usaha dan investasi di mana meminjamkan dana premi yang terkumpul atas dasar bunga. Dalam konsep takaful dana premi yang terkumpul diinvestasikan dengan prinsip bagi hasil yaitu mudharabah atau musyarakah.

Riba (bunga) dalam pengelolaan premi asuransi tidak sesuai dengan prinsip dasar transaksi syariah sebagaimana ditetapkan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 16 Desember 2003 yang menyatakan bahwa bunga termasuk dalam kategori riba. Fatwa tentang bunga adalah riba bukanlah wacana baru bagi umat Islam, karena sebelumnya MUI telah beberapa kali mencetuskan wacana tersebut. Fatwa yang pertama dikeluarkan pada tahun 1990 yang diikuti dengan berdirinya bank syariah pertama yaitu Bank Muamalat Indonesia, dan yang kedua pada tahun 2000 di mana Dewan Syariah Nasional mengeluarkan fatwa bahwa penerapan suku bunga bertentangan dengan syariah Islam [10]. Hal ini kemudian diikuti dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.

Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional
Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal di antaranya adalah [11]:

1. Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam.

2. Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tabaduli (jual beli antara nasabah dengan perusahaan).

3. Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional investasi dana premi dilakukan pada sembarang sektor, baik yang halal maupun yang haram dengan sistem bunga.

4. Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, menjadi milik perusahaan dan perusahaanlah yang memegang otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.

5. Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru’ (dana sosial) dari seluruh peserta yang diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong bila ada yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening perusahaan.

6. Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim nasabah rugi karena tidak memperoleh apa-apa [12]. Selain itu, Dewan Syariah Nasional (DSN) sebagai bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) bertugas menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan sektor keuangan pada khususnya, termasuk usaha bank, asuransi dan reksadana. Anggota DSN terdiri dari para ulama, praktisi dan pakar dalam bidang yang terkait dengan perekonomian dan syariah muamalah. Anggota DSN ditunjuk dan diangkat oleh MUI untuk masa bakti 4 tahun. DSN merupakan satu-satunya badan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Anggota DPS dalam perusahaan asuransi terdiri dari para pakar di bidang syariah muamalah yang memiliki pengetahuan umum bidang asuransi.

Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, DPS wajib mengikuti fatwa DSN yang merupakan otoritas tertinggi dalam mengeluarkan fatwa mengenai kesesuaian produk asuransi dengan ketentuan dan prinsip syariah. DPS berfungsi mengawasi prinsip operasional yang digunakan, produk asuransi yang ditawarkan, serta investasi yang dilakukan oleh manajemen asuransi. Pengawasan ini dimaksudkan agar apa yang dilakukan oleh manajemen asuransi itu tidak keluar koridor yang telah ditentukan syariat Islam. Dengan adanya Dewan Pengawas Syariah, asuransi takaful sebagai bentuk asuransi Islam tidak akan keluar dari ajaran Islam yang sebenarnya.

Catatan Kaki:
[9] Muhammad Syafi’i Antonio, Prinsip Dasar Operasi Asuransi Takaful dalam Arbitrase Islam di Indonesia, Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, Jakarta, 1994, hlm.148
[10] Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Cetakan ke-3, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2004, hlm103:
[11] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syanah Deskripsi dan Ilustrasi, Penerbit Ekonisia, Yogyakarta, 2003, hlm. 104
[12] Andi Ihsan Arqam, Asuransi Takaful: Pemberdayaan Ummat Dan Pencerahan Kultural, dalam Bunga Rampai Asuransi Takaful, Kopkar, 2001, hal 164, Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional, Gema Insani Press, Jakarta, 2004, hal. 326

Selasa, 19 Februari 2013

Perasuransian dan Hukum Asuransi Dalam Islam (Bagian 1)

Oleh : Dr. Setiawan Budi Utomo
 
dakwatuna.com – Dalam prinsip syariah hukum-hukum muamalah (transaksi bisnis) adalah bersifat terbuka, artinya Allah SWT dalam Al-Qur’an hanya memberikan aturan yang bersifat garis besarnya saja. Selebihnya adalah terbuka bagi ulama mujtahid untuk mengembangkannya melalui pemikirannya selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an maupun Hadits tidak menyebutkan secara nyata apa dan bagaimana berasuransi. Namun bukan berarti bahwa asuransi hukumnya haram, karena ternyata dalam hukum Islam memuat substansi perasuransian secara Islami sebagai dasar operasional asuransi syariah.

Hakikat asuransi secara syariah adalah saling bertanggung jawab, saling bekerja sama atau bantu-membantu dan saling menanggung penderitaan satu sama lain. Oleh karena itu berasuransi diperbolehkan secara syariah, karena prinsip-prinsip dasar syariah mengajak kepada setiap sesuatu yang berakibat keeratan jalinan sesama manusia dan kepada sesuatu yang meringankan bencana mereka sebagaimana fir­man Allah SWT. dalam Al-Qur’an surah al-Maidah ayat 2 yang artinya:“Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.

Prinsip asuransi syariah yang menekankan pada semangat kebersamaan dan tolong-menolong (ta’awun). Semangat asuransi syariah menginginkan berdirinya sebuah masyarakat mandiri yang tegak di atas asas saling membantu dan saling menopang, karena setiap muslim terhadap muslim yang lainnya sebagaimana sebuah bangunan yang saling menguatkan sebagian kepada sebagian yang lain. Dalam model asuransi ini tidak ada perbuatan memakan harta manusia dengan batil (aklu amwalinnas bilbathil), karena apa yang telah diberikan adalah semata-mata sedekah dari hasil harta yang dikumpulkan. Selain itu keberadaan asuransi syariah akan membawa kemajuan dan kesejahteraan kepada perekonomian umat.

Dalam menjalankan usahanya, perusahaan asuransi dan reasu­ransi syariah berpegang pada pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yaitu Fatwa DSN-MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah di samping Fatwa DSN-MUI yang paling terkini yang terkait dengan akad perjanjian asuransi syariah yaitu Fatwa No.51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah, Fatwa No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah bil Ujrah pada Asuransi Syariah, Fatwa No. 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi Syariah.

Peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan asuransi syariah yaitu:
1. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/ KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusa­haan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Peraturan inilah yang dapat dijadikan dasar untuk mendirikan asuransi syariah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa ”Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah…” Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 3-4 mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin usaha perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah, Pasal 32 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi konvensional, dan Pasal 33 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.

2. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 424/ KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 15-18 mengenai kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.

3. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep. 4499/ LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah.
Dalam konsep syariah (hukum) Islam terdapat suatu terminologi yang membedakan hubungan manusia dengan Tuhan (hablum minallah) di satu sisi dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablum minannaas) dan lingkungan sekitarnya (hablum minal alam) di sisi lainnya [1]. Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan seperti peribadatan misalnya adalah bersifat limitatif artinya tidak dimungkinkan bagi manusia untuk mengembangkannya.

Sedangkan hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan lingkungan alam di sekitarnya adalah bersifat terbuka, artinya Allah SWT dalam Al-Qur’an hanya memberikan aturan yang bersifat garis besarnya saja. Selebihnya adalah terbuka bagi kalangan ulama mujtahid untuk mengembangkan melalui pemikirannya. Lapangan kehidupan ekonomi termasuk di dalamnya usaha perasuransian, digolongkan dalam hukum-hukum yang mengatur hu­bungan manusia dengan sesamanya yang disebut dengan hukum muamalah, oleh karena itu bersifat terbuka dalam pengembangannya.

Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda assurantie (asuransi), yang dalam hukum Belanda disebut dan verzekering yang artinya pertanggungan. Dalam bahasa Inggris, asuransi disebut insurance bermakna asuransi juga jaminan, yang dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa populer dan diadopsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan padanan kata “pertanggungan”. Bila merujuk kepada Bahasa Arab, padanan kata Asuransi adalah تأمين (ta’min).

Pengertian asuransi dalam konteks usaha perasuransian menurut syariah atau asuransi Islam secara umum sebenarnya tidak jauh berbeda dengan asuransi konvensional. Di antara keduanya, baik asuransi konvensional maupun asuransi syariah mempunyai persamaan yaitu perusahaan asuransi hanya berfungsi sebagai fasilitator dan intermediasi hubungan struktural antara peserta penyetor premi (penanggung) dengan peserta penerima pembayaran klaim (tertanggung). Secara umum asuransi Islam atau sering diistilahkan dengan takaful dapat digambarkan sebagai asuransi yang prinsip operasionalnya didasarkan pada syariat Islam dengan mengacu kepada Al-Qur’an dan As-Sunah [2].

Dalam menerjemahkan istilah asuransi ke dalam konteks asuransi Islam terdapat beberapa istilah, antara lain takaful (bahasa Arab), ta’min (bahasa Arab) dan Islamic insurance (bahasa Inggris). Istilah-istilah tersebut pada dasarnya tidak berbeda satu sama lain yang mengandung makna pertanggungan atau saling menanggung. Namun dalam prakteknya istilah yang paling populer digunakan sebagai istilah lain dari asuransi dan juga paling banyak digunakan di beberapa negara termasuk Indonesia adalah istilah takaful. Istilah takaful ini pertama kali digunakan oleh Dar Al Mal Al Islami, sebuah perusahaan asuransi Islam di Geneva yang berdiri pada tahun 1983.

Istilah takaful dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar kafala-yakfulu-takafala-yatakafalu-takaful yang berarti saling menanggung atau menanggung bersama. Kata takaful tidak dijumpai dalam Al-Qur’an, namun demikian ada sejumlah kata yang seakar dengan kata takaful, seperti misalnya dalam QS. Thaha (20): 40 “… hal adullukum ‘ala man yakfuluhu…”. Yang artinya ”… bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya (menanggungnya)?…”

Apabila kita memasukkan asuransi takaful ke dalam lapangan kehidupan muamalah, maka takaful dalam pengertian muamalah mengandung arti yaitu saling menanggung risiko di antara sesama manusia sehingga di antara satu dengan lainnya menjadi penanggung atas risiko masing-masing. Dengan demikian, gagasan mengenai asuransi takaful berkaitan dengan unsur saling menanggung risiko di antara para peserta asuransi, di mana peserta yang satu menjadi penanggung peserta yang lainnya.
Tanggung-menanggung risiko ter­sebut dilakukan atas dasar kebersamaan saling tolong-menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana yang ditujukan untuk menanggung risiko tersebut 

[3]. Perusahaan asuransi takaful hanya bertindak sebagai fasilitator dan mediator proses saling menanggung di antara para peserta asuransi. Hal inilah salah satu yang membedakan antara asuransi takaful dengan asuransi konvensional, di mana dalam asuransi konven­sional terjadi saling menanggung antara perusahaan asuransi dengan peserta asuransi.

Perkembangan Asuransi Syariah
Lembaga asuransi sebagaimana dikenal sekarang ini sesungguhnya belum dikenal pada periode awal Islam, akibatnya banyak literatur Islam menyimpulkan secara apriori bahwa asuransi tidak dapat dipandang sebagai praktik yang halal. Walaupun secara jelas mengenai lembaga asuransi ini tidak dikenal pada periode awal Islam, akan tetapi terdapat beberapa aktivitas dari kehidupan pada masa Rasulullah yang mengarah pada prinsip-prinsip asuransi. Misalnya konsep tanggung jawab bersama yang disebut dengan sistem ’aqilah. Sistem tersebut telah berkembang pada masyarakat Arab sebelum lahirnya Rasulullah SAW Kemudian pada zaman Rasulullah SAW atau pada masa periode awal Islam sistem tersebut dipraktekkan di antara kaum Muhajirin dan Anshar. Sistem ’aqilah adalah sistem menghimpun para anggota keluarga besar untuk menyumbang dalam suatu tabungan bersama yang dikenal sebagai “kanz”. Tabungan ini bertujuan untuk memberikan pertolongan kepada keluarga korban yang terbunuh secara tidak sengaja dan untuk membebaskan hamba sahaya.

Kemunculan usaha perasuransian syariah tidak dapat dilepaskan dari keberadaan usaha perasuransian konvensional yang telah ada sejak lama. Sebelum terwujudnya usaha perasuransian syariah, terdapat berbagai macam perusahaan asuransi konvensional yang telah lama berkembang. Jika ditinjau dari segi hukum perikatan Islam asuransi konvensional hukumnya haram. Hal ini dikarenakan dalam operasional asuransi konvensional mengandung unsur gharar (ketidakpastian), maysir (spekulasi/gambling) dan riba (bunga). Pendapat ini disepakati oleh banyak ulama terkenal dunia seperti Yusuf al-Qaradhawi, Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqili, Muhammad Bakhil al-Muth’i, Abdul Wahab Khalaf, Muhammad Yusuf Musa, Abdurrahman Isa, Mustafa Ahmad Zarqa, dan Muhammad Nejatullah Siddiqi. Namun demikian, karena alasan kemaslahatan atau kepentingan umum sebagian dari mereka membolehkan untuk sementara belum ada alternatif yang sesuai syariah beroperasinya asuransi konvensional [4].

Di Malaysia, pernyataan bahwa asuransi konvensional hukumnya haram diumumkan pada tanggal 15 Juni 1972 di mana Jawatan Kuasa Fatwa Malaysia mengeluarkan keputusan bahwa praktik asuransi jiwa di Malaysia hukumnya menurut Islam adalah haram. Selain itu Jawatan Kuasa Kecil Malaysia dalam kertas kerjanya yang berjudul ”Ke Arah Insurans Secara Islami di Malaysia” menyatakan bahwa asuransi masa kini mengikuti cara pengelolaan Barat dan sebagian operasinya tidak sesuai dengan ajaran Islam [5].
Dalam rangka pengembangan perekonomian umat jangka panjang, masyarakat muslim perlu konsisten mengaplikasikan prinsip-prinsip perniagaan syariah berdasarkan nash-nash (teks-teks dalil agama) yang jelas atau pendapat para pakar ekonomi Islam. Untuk itu usaha perasuransian berlandaskan prinsip syariah merupakan lembaga ekonomi syariah yang dapat membawa umat Islam ke arah kemakmuran patut diwujudkan dan merupakan sebuah keniscayaan.

Berdasarkan pemikiran bahwa asuransi konvensional hukumnya adalah haram, maka kemudian dirumuskan bentuk asuransi yang terhindar dari ketiga unsur yang diharamkan Islam tersebut di atas yaitu gharar, maisir dan riba. Berdasarkan hasil analisis terhadap hukum (syariat) Islam dapat disimpulkan bahwa di dalam ajaran Islam termuat substansi perasuransian. Asuransi yang termuat dalam substansi hukum Islam tersebut ternyata dapat menghindarkan prinsip operasional asuransi dari unsur gharar, maisir dan riba.

Dengan adanya keyakinan umat Islam di dunia dan keuntungan vang diperoleh melalui konsep asuransi syariah, lahirlah berbagai perusahaan asuransi yang menjalankan usaha perasuransian berlandaskan prinsip syariah. Perusahaan yang mewujudkan asuransi syariah ini bukan saja perusahaan yang dimiliki orang Islam, namun juga berbagai perusahaan milik non-muslim serta ada yang secara induk perusahaan berbasis konvensional ikut terjun usaha memberikan layanan asuransi syariah dengan membuka kantor cabang dan divisi syariah.

Seiring dengan bergulirnya waktu dan ijtihad para pemerhati ekonomi Islam secara kontinyu, akhirnya mereka sampai kepada sebuah konsep yang dapat disepakati bersama serta menjadi acuan perasuransian syariah di dunia. Konsep tersebut populer dengan nama asuransi mutual, kerja sama (ta’awuni), atau takmin ta’awuni. Konsep Asuransi Ta’awuni merupakan rekomendasi fatwa Muktamar Ekonomi Islam yang bersidang kali pertama tahun 1976 M di Mekah. Peserta hampir 200 orang dari kalangan ulama. Kemudian dikuatkan lagi dalam sidang Majma’ Fiqh Islami ‘Alami (Lembaga Fiqih Dunia) pada 21 Desember 1985 di Jeddah yang memutuskan pengharaman Asuransi Jenis Perniagaan (Komersial). Majma’ Fiqih juga secara ijma’ mengharuskan dioperasikannya usaha perasuransian jenis kerja sama (ta’awuni) sebagai alternatif menggantikan jenis asuransi konvensional serta menyerukan umat Islam dunia menggunakan asuransi ta’awuni [6]. Dalam rangka menindaklanjuti fatwa tersebut dan kebutuhan umat terhadap asuransi berdasarkan hukum Islam, Pada dekade 70-an di beberapa negara Islam atau di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim bermunculan asuransi yang prinsip operasionalnya mengacu kepada nilai-nilai Islam dan terhindar dari ketiga unsur yang diharamkan Islam. Pada tahun 1979 Faisal Islamic Bank of Sudan memprakarsai berdirinya perusahaan asuransi syariah Islamic Insurance Co. Ltd. di Sudan dan Islamic Insurance Co. Ltd. di Arab Saudi. Keberhasilan asuransi syariah ini kemudian diikuti oleh berdirinya Dar al-Mal al-Islami di Geneva, Swiss dan Takaful Islami di Luxemburg, Takaful Islam Bahamas di Bahamas dan al-Takaful al-Islami di Bahrain pada tahun 1983. Di Malaysia, Syarikat Takaful Sendirian Berhad berdiri pada tahun 1984 [7]. Selanjutnya diikuti oleh negara-negara lain seperti Bahrain, UAE, Brunei, Singapura, dan Indonesia.

Di Indonesia, Asuransi Takaful baru muncul pada tahun 1994 seiring dengan diresmikannya PT Syarikat Takaful Indonesia yang kemudian mendirikan 2 anak perusahaan yaitu PT Asuransi Takaful Keluarga pada tahun 1994 dan PT Asuransi Takaful Umum pada tahun 1995. Gagasan dan pemikiran didirikannya asuransi berlandaskan syariah sebenarnya sudah muncul tiga tahun sebelum berdirinya takaful dan makin kuat setelah diresmikannya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1991. Dengan beroperasinya Bank-bank Syariah dirasakan kebutuhan akan kehadiran jasa asuransi yang berdasarkan syariah pula. Berdasarkan pemikiran tersebut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada tanggal 27 Juli 1993 melalui Yayasan Abdi Bangsa bersama Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan perusahaan Asuransi Tugu Mandiri sepakat memprakarsai pendirian asuransi takaful [8].

Saat ini perusahaan asuransi yang benar-benar secara penuh beroperasi sebagai perusahaan asuransi syariah ada tiga, yaitu Asuransi Takaful Keluarga, Asuransi Takaful Umum, dan Asuransi Mubarakah. Selain itu ada beberapa perusahaan asuransi konvensional yang membuka cabang syariah di antaranya seperti Prudential Syariah, MAA, Great Eastern, Tripakarta, Beringin Life, Bumiputra, Dharmala, dan Jasindo.
– Bersambung

Catatan Kaki:
[1] Lihat Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cet. 7, PT RajaGrafmdo Persada, Jakarta 1999, hlm. 31
[2] H. A. Djajuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonamian Umat (Sebuah Pengenalan), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 120.
[3] Rahmat Husein, Asuransi Takaful Selayang Pandang dalam Wawasan Islam dan Ekonomi, Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta, 1997, hlm. 234.
[4] Jafril Khalil, Asuransi Syariah dalam Perspektif Ekonomi: Sebuah Tinjauan, Jurnal Hukum Bisnis Volume 22, Nomor 2 Tahun 2003, hlm. 46.
[5] Karnaen A. Perwataatmadja, Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia, Usaha Kami, Depok, 1996, hlm. 230.
[6] Wabbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al- Islami wa Adillatuhu, Darul Fikr, Damaskus, 1984, hlm. 5/3423
[7] M. Abdul Mannan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam (Islamic Economics, Theory and Practice), Diterjemahkan oleh M. Nastangin, PT Dana Bhakti,Wakaf, Yogyakarta, 1997, hlm. 305.
[9] Training & Development Department, Basic Training Modul 2002, Training & Development Department Asuransi Syariah Takaful, Jakarta, 2002, hlm. 20.

Kamis, 24 Januari 2013

Prudential Syariah Tak Tertandingi

Ketua Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sekaligus Ketua Dewan Penasehat Syariah (DPS) Asuransi Prudential Syariah, KH Anwar Ibrahim, mengungkapkan bahwa Asuransi Prudential Syariah tak ada tandingannya. Hal ini terlihat dari kinerja bisnis dan jumlah para agen terbesar dibandingkan dengan asuransi syariah lainya.
 
“Saya melihat Asuransi Prudential Syariah ini sangat unik dan sulit untuk tertandingi,” katanya dihadapan para Agen Prudential Syariah, acara Syukuran Prudential Syariah kemarin (19/4) di gedung Indofood Tower-Jakarta.

Selain menilai kelebihan dari Asuransi Prudential Syariah, KH. Anwar Ibrahim juga menyatakan bahwa bisnis asuransi syariah adalah halal. Sebab mendapatkan fatwa dan perlindungan dari MUI.

“Maka selama mendapatkan sertifikasi halal dari MUI lembaga keuangan tersebut harus tunduk dengan aturan dan kaidah dari MUI dan jika melanggar aturan akan dicabut sertifikasi itu,” jelasnya.

KH, Anwar Ibrahim, juga menegaskan jika ada sebagian masyarakat merasa ragu-ragu terhadap bisnis asuransi syariah bisa langsung bertanya pada DSN MUI. Untuk mendapatkan penjelasan yang lengkap.

Kemudian, KH. Anwar Ibrahim juga memberikan wawasan ada sesuatu yang berbeda antara operasional asuransi syariah dengan asuransi konvensional. Jika di asuransi syariah konsepnya adalah tabarru’ atau tolong menolong, sedangkan modal yang diperoleh berasal dari modal keikutsertaan para nasabah. Jadi jika ada salah satu anggota peserta yang sakit duluan atau kecelakaan akan dibantu dengan dana tabarru’ tersebut berdasarkan prosentasi kepersertaan. Jika dana kepersertaannya itu besar, dana tabarru‘-nya juga besar. Selain itu dana yang dikumpulkan dari dana tabarru’ diinvestasikan pada sektor riil yang halal.

Sementara jika dikonvensional tidak demikian. Dana operasional bukan dari anggota peserta tapi dana perusahaan asuransi. Jika ada peserta yang sakit dan kecelakaan perusahaanlah yang membayarnya. Kemudian mengenai investasinya bisa seenaknya sendiri dan bisa melakukan investasi di instumen yang haram, asalkan untung.

“Jadi itulah yang membedakan antara asuransi syariah dan konvensional,” papar KH Anwar Ibrahim.