dakwatuna.com – Jakarta. Asuransi syariah harus
dibuatkan undang-undang tersendiri karena memiliki prinsip yang berbeda
dengan asuransi konvensional, kata Wakil Ketua Badan Pengurus Indonesian
Senior Executive Association (ISEA) Sri Hadiah Watie.
“Asuransi
syariah perlu diatur tersendiri, jangan dicampur aduk dengan yang lain,”
kata Sri usai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) RUU Usaha Perasuransian
di Kompleks Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa.
Menurut dia,
perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional adalah syariah
itu didasarkan prinsip berbagi, keuntungan maupun kerugian dibagi kedua
belah pihak. Karena itu penggunaan kata polis, menurut dia tidak tepat
digunakan untuk asuransi syariah.
“Polis itu hanya untuk akte
tertulis asuransi, sedangkan syariah bukan asuransi, bukan transfer of
risk, jadi asuransi syariah seharusnya tidak boleh memakai kata polis,”
katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan bila nantinya dibuat
undang-udang yang mengatur asuransi syariah agar dinamakan Undang-undang
Pengelolaan Risiko Syariah karena prinsip asuransi syariah berbeda
dengan asuransi konvensional.
Terkait pembahasan RUU Usaha
Perasuransian, Sri menambahkan pihaknya berpendapat RUU perlu diperbarui
dan disesuaikan dengan perkembangan di sektor industri perasuransian
itu sendiri.
“UU Usaha Perasuransian yang sebelumnya adalah UU
Nomor 2 Tahun 1992 telah berusia 20 tahun dan hanya mengatur tentang
bisnis asuransi dianggap sudah ketinggalan jaman,” katanya.
Selain
itu, ditambah lagi dengan hadirnya produk-produk keuangan hibrida atau
produk-produk keuangan lintas sektor seperti Unit Link, Surety Bond yang
telah menimbulkan risiko baru dan wilayah abu-abu dalam pelaksanaan
pengaturan industri perasuransian. (A064/S025/Ruslan Burhani/Ant)
Redaktur: Hendratno
Tidak ada komentar:
Posting Komentar