Oleh : Dr. Setiawan Budi Utomo
Prinsip Operasional Asuransi Syariah
dakwatuna.com – Prinsip utama dalam perasuransian syariah adalah ta’awanu ‘alal birri wa al-taqwa (tolong-menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan takwa) dan al-takmin (rasa
aman). Prinsip ini menjadikan para anggota atau peserta asuransi
sebagai sebuah keluarga besar yang satu dengan lainnya saling menjamin
dan menanggung risiko. Hal ini disebabkan transaksi yang dibuat dalam
asuransi takaful adalah akad takafuli (saling menanggung), bukan akad tabaduli (saling
menukar) yang selama ini digunakan oleh asuransi konvensional, yaitu
pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan.
Para ulama
dan ahli ekonomi Islam mengemukakan bahwa asuransi syariah atau asuransi
takaful ditegakkan atas tiga prinsip utama, yaitu:
1. Saling bertanggung jawab,
yang berarti para peserta asuransi takaful memiliki rasa tanggung jawab
bersama untuk membantu dan menolong peserta lain yang mengalami musibah
atau kerugian dengan niat ikhlas, karena memikul tanggung jawab dengan
niat ikhlas adalah ibadah. Hal ini dapat diperhatikan dari hadits-hadits
Nabi saw. berikut:
”Kedudukan hubungan persaudaraan dan
perasaan orang-orang beriman antara satu dengan lain seperti satu tubuh
(jasad) apabila satu dari anggotanya tidak sehat, maka akan berpengaruh
kepada seluruh tubuh” (HR. Bukhari dan Muslim).
”Seorang
mukmin dengan mukmin yang lain (dalam suatu masyarakat) seperti sebuah
bangunan di mana tiap-tiap bagian dalam bangunan itu mengukuhkan
bagian-bagian yang lain”(HR. Bukhari dan Muslim).
”Setiap kamu adalah pemikul tanggung jawab dan setiap kamu bertanggung jawab terhadap orang-orang yang di bawah tanggung jawabmu” (HR. Bukhari dan Muslim).
”Seseorang tidak dianggap beriman sehingga ia mengasihi saudaranya sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri” (HR. Bukhari).
“Barang siapa yang tidak dianggap beriman sehingga ia mengasihi saudaranya sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri” (HR. Bukhari).
Rasa
tanggung jawab terhadap sesama merupakan kewajiban setiap muslim. Rasa
tanggung jawab ini tentu lahir dari sifat saling menyayangi, mencintai,
saling membantu dan merasa mementingkan kebersamaan untuk mendapatkan
kemakmuran bersama dalam mewujudkan masyarakat yang beriman, takwa dan
harmonis.
Dengan prinsip ini, maka asuransi takaful merealisir
perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Rasulullah SAW dalam al-Sunnah
tentang kewajiban untuk tidak memerhatikan kepentingan diri sendiri
semata tetapi juga mesti mementingkan orang lain atau masyarakat.
2. Saling bekerja sama atau saling membantu,
yang berarti di antara peserta asuransi takaful yang satu dengan
lainnya saling bekerja sama dan saling tolong-menolong dalam mengatasi
kesulitan yang dialami karena sebab musibah yang diderita. Sebagaimana
firman Allah dalam QS. al-Maidah ay at 2 yang artinya:
“Bekerjasamalah
kamu pada perkara-perkara kebajikan dan takwa, dan jangan bekerja sama
dalam perkara-perkara dosa dan permusuhan.”
Hadits juga membicarakan perkara seperti ini, di antaranya yaitu:
“Barang siapa yang memenuhi hajat (kebutuhan) saudaranya, Allah akan memenuhi hajatnya” (HR Bukhari, Muslim dan Abu Daud).
“Allah senantiasa menolong hamba selagi hamba itu menolong saudaranya” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Dengan
prinsip ini maka asuransi takaful merealisir perintah Allah SWT dalam
Al-Qur’an dan Rasulullah SAW dalam al-Sunnah tentang kewajiban hidup
bersama dan saling menolong di antara sesama umat manusia.
3. Saling melindungi penderitaan satu sama lain,
yang berarti bahwa para peserta asuransi takaful akan berperan sebagai
pelindung bagi peserta lain yang mengalami gangguan keselamatan berupa
musibah yang dideritanya. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Quraisy
ayat 4 yang artinya:
“(Allah) yang telah menyediakan makanan untuk
menghilangkan bahaya kelaparan dan menyelamatkan/mengamankan mereka
dari mara bahaya ketakutan.”
Hadits Nabi saw. “Sesungguhnya
seseorang yang beriman ialah siapa yang dapat memberi keselamatan dan
perlindungan terhadap harta dan jiwa raga umat manusia.” (HR. Ibnu
Majah)
Dengan begitu maka asuransi takaful merealisir perintah
Allah dalam Al-Qur’an dan Rasulullah SAW dalam al-Sunnah tentang
kewajiban saling melindungi di antara sesama warga masyarakat.
Karnaen
A. Perwataatmadja mengemukakan prinsip-prinsip asuransi takaful yang
sama, namun beliau menambahkan satu prinsip dari prinsip yang telah ada
yakni prinsip menghindari unsur-unsur gharar, maisir dan riba. Sehingga terdapat 4 prinsip asuransi syariah yakni:
1. Saling bertanggung jawab;
2. Saling bekerja sama atau saling membantu;
3. Saling melindungi penderitaan satu sama lain; dan
4. Menghindari unsur gharar, maisir dan riba.
Beberapa
indikator dan kriteria yang menentukan usaha asuransi sesuai syariah
atau tidak, yaitu harus dipastikan terhindar dari unsur gharar, maisir dan riba.
1. Gharar (uncertainty) atau ketidakpastian, ada dua bentuk [9]:
a.
Bentuk akad syariah yang melandasi penutupan polis. Secara
konvensional, kontrak atau perjanjian dalam asuransi jiwa dapat
dikategorikan sebagai akad tabaduli atau akad pertukaran yaitu
pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara harfiah
dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang dibayarkan dan berapa yang
diterima. Keadaan ini menjadi rancu (gharar) karena kita tahu
berapa yang akan diterima (sejumlah uang pertanggungan), tetapi tidak
tahu berapa yang akan dibayarkan (sejumlah seluruh premi) karena hanya
Allah yang tahu kapan seseorang akan meninggal. Dalam konsep syariah
keadaan ini akan lain karena akad yang digunakan adalah akad takafuli atau tolong-menolong dan saling menjamin di mana semua peserta asuransi menjadi penolong/ penjamin satu sama lainnya.
b. Sumber dana pembayaran klaim dan keabsahan syar’i penerima
uang klaim itu sendiri. Dalam konsep asuransi konvensional, peserta
tidak mengetahui dari mana dana pertanggungan yang diberikan perusahaan
asuransi berasal. Peserta hanya tahu jumlah pembayaran klaim yang akan
diterimanya. Dalam konsep takaful, setiap pembayaran premi sejak awal
akan dibagi dua, masuk ke rekening pemegang polis dan satu lagi
dimasukkan ke rekening khusus peserta yang harus diniatkan tabarru’ atau derma untuk membantu saudaranya yang lain. Dengan kata lain, dana klaim dalam konsep takaful diambil dari dana tabarru yang merupakan kumpulan dana shadaqah dari para peserta.
2. Maisir (gambling/untung-untungan) artinya
ada salah satu pihak yang untung namun di lain pihak justru mengalami
kerugian. Unsur ini dalam asuransi konvensional terlihat apabila selama
masa perjanjian peserta tidak mengalami musibah atau kecelakaan, maka
peserta tidak berhak mendapatkan apa-apa termasuk premi yang disetornya.
Sedangkan, keuntungan diperoleh ketika peserta yang belum lama menjadi
anggota (jumlah premi yang disetor sedikit) menerima dana pembayaran
klaim yang jauh lebih besar. Dalam konsep takaful, apabila peserta tidak
mengalami kecelakaan atau musibah selama menjadi peserta, maka ia tetap
berhak mendapatkan premi yang disetor kecuali dana yang dimasukkan ke
dalam dana tabarru’.
3. Unsur riba
tercermin dalam cara perusahaan asuransi konvensional melakukan usaha
dan investasi di mana meminjamkan dana premi yang terkumpul atas dasar
bunga. Dalam konsep takaful dana premi yang terkumpul diinvestasikan
dengan prinsip bagi hasil yaitu mudharabah atau musyarakah.
Riba
(bunga) dalam pengelolaan premi asuransi tidak sesuai dengan prinsip
dasar transaksi syariah sebagaimana ditetapkan dalam fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) pada tanggal 16 Desember 2003 yang menyatakan bahwa
bunga termasuk dalam kategori riba. Fatwa tentang bunga adalah riba
bukanlah wacana baru bagi umat Islam, karena sebelumnya MUI telah
beberapa kali mencetuskan wacana tersebut. Fatwa yang pertama
dikeluarkan pada tahun 1990 yang diikuti dengan berdirinya bank syariah
pertama yaitu Bank Muamalat Indonesia, dan yang kedua pada tahun 2000 di
mana Dewan Syariah Nasional mengeluarkan fatwa bahwa penerapan suku
bunga bertentangan dengan syariah Islam [10]. Hal ini kemudian diikuti
dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang
Pedoman Umum Asuransi Syariah.
Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional
Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal di antaranya adalah [11]:
1. Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam.
2. Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong).
Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang tengah mengalami
kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tabaduli (jual beli antara nasabah dengan perusahaan).
3.
Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi)
diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Sedangkan
pada asuransi konvensional investasi dana premi dilakukan pada
sembarang sektor, baik yang halal maupun yang haram dengan sistem bunga.
4.
Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana nasabah.
Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah mengelolanya. Sedangkan pada
asuransi konvensional, menjadi milik perusahaan dan perusahaanlah yang
memegang otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana
tersebut.
5. Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru’ (dana
sosial) dari seluruh peserta yang diikhlaskan untuk keperluan
tolong-menolong bila ada yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi
konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening perusahaan.
6.
Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana
dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan
dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik
perusahaan. Jika tak ada klaim nasabah rugi karena tidak memperoleh
apa-apa [12]. Selain itu, Dewan Syariah Nasional (DSN) sebagai bagian
dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) bertugas menumbuhkembangkan penerapan
nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan sektor
keuangan pada khususnya, termasuk usaha bank, asuransi dan reksadana.
Anggota DSN terdiri dari para ulama, praktisi dan pakar dalam bidang
yang terkait dengan perekonomian dan syariah muamalah. Anggota DSN
ditunjuk dan diangkat oleh MUI untuk masa bakti 4 tahun. DSN merupakan
satu-satunya badan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas
jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah serta mengawasi
penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di
Indonesia. Anggota DPS dalam perusahaan asuransi terdiri dari para pakar
di bidang syariah muamalah yang memiliki pengetahuan umum bidang
asuransi.
Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, DPS wajib mengikuti
fatwa DSN yang merupakan otoritas tertinggi dalam mengeluarkan fatwa
mengenai kesesuaian produk asuransi dengan ketentuan dan prinsip
syariah. DPS berfungsi mengawasi prinsip operasional yang digunakan,
produk asuransi yang ditawarkan, serta investasi yang dilakukan oleh
manajemen asuransi. Pengawasan ini dimaksudkan agar apa yang dilakukan
oleh manajemen asuransi itu tidak keluar koridor yang telah ditentukan
syariat Islam. Dengan adanya Dewan Pengawas Syariah, asuransi takaful
sebagai bentuk asuransi Islam tidak akan keluar dari ajaran Islam yang
sebenarnya.
Catatan Kaki:
[9] Muhammad Syafi’i Antonio, Prinsip Dasar Operasi Asuransi Takaful dalam Arbitrase Islam di Indonesia, Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, Jakarta, 1994, hlm.148
[10] Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Cetakan ke-3, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2004, hlm103:
[11] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syanah Deskripsi dan Ilustrasi, Penerbit Ekonisia, Yogyakarta, 2003, hlm. 104
[12] Andi Ihsan Arqam, Asuransi Takaful: Pemberdayaan Ummat Dan Pencerahan Kultural, dalam Bunga Rampai Asuransi Takaful, Kopkar, 2001, hal 164, Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional, Gema Insani Press, Jakarta, 2004, hal. 326
Tidak ada komentar:
Posting Komentar