Oleh : Dr. Setiawan Budi Utomo
dakwatuna.com – Dalam prinsip syariah hukum-hukum muamalah (transaksi bisnis) adalah bersifat terbuka, artinya Allah SWT dalam Al-Qur’an hanya memberikan aturan yang bersifat garis besarnya saja. Selebihnya adalah terbuka bagi ulama mujtahid untuk mengembangkannya melalui pemikirannya selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an maupun Hadits tidak menyebutkan secara nyata apa dan bagaimana berasuransi. Namun bukan berarti bahwa asuransi hukumnya haram, karena ternyata dalam hukum Islam memuat substansi perasuransian secara Islami sebagai dasar operasional asuransi syariah.
dakwatuna.com – Dalam prinsip syariah hukum-hukum muamalah (transaksi bisnis) adalah bersifat terbuka, artinya Allah SWT dalam Al-Qur’an hanya memberikan aturan yang bersifat garis besarnya saja. Selebihnya adalah terbuka bagi ulama mujtahid untuk mengembangkannya melalui pemikirannya selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an maupun Hadits tidak menyebutkan secara nyata apa dan bagaimana berasuransi. Namun bukan berarti bahwa asuransi hukumnya haram, karena ternyata dalam hukum Islam memuat substansi perasuransian secara Islami sebagai dasar operasional asuransi syariah.
Hakikat
asuransi secara syariah adalah saling bertanggung jawab, saling bekerja
sama atau bantu-membantu dan saling menanggung penderitaan satu sama
lain. Oleh karena itu berasuransi diperbolehkan secara syariah, karena
prinsip-prinsip dasar syariah mengajak kepada setiap sesuatu yang
berakibat keeratan jalinan sesama manusia dan kepada sesuatu yang
meringankan bencana mereka sebagaimana firman Allah SWT. dalam
Al-Qur’an surah al-Maidah ayat 2 yang artinya:“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.
Prinsip asuransi syariah yang menekankan pada semangat kebersamaan dan tolong-menolong (ta’awun).
Semangat asuransi syariah menginginkan berdirinya sebuah masyarakat
mandiri yang tegak di atas asas saling membantu dan saling menopang,
karena setiap muslim terhadap muslim yang lainnya sebagaimana sebuah
bangunan yang saling menguatkan sebagian kepada sebagian yang lain.
Dalam model asuransi ini tidak ada perbuatan memakan harta manusia
dengan batil (aklu amwalinnas bilbathil), karena apa yang telah
diberikan adalah semata-mata sedekah dari hasil harta yang dikumpulkan.
Selain itu keberadaan asuransi syariah akan membawa kemajuan dan
kesejahteraan kepada perekonomian umat.
Dalam menjalankan
usahanya, perusahaan asuransi dan reasuransi syariah berpegang pada
pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI) yaitu Fatwa DSN-MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang
Pedoman Umum Asuransi Syariah di samping Fatwa DSN-MUI yang paling
terkini yang terkait dengan akad perjanjian asuransi syariah yaitu Fatwa
No.51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah, Fatwa No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah bil Ujrah pada Asuransi Syariah, Fatwa No. 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi Syariah.
Peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan asuransi syariah yaitu:
1.
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/ KMK.06/2003
tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi. Peraturan inilah yang dapat dijadikan dasar untuk
mendirikan asuransi syariah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 yang
menyebutkan bahwa ”Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah…”
Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal
3-4 mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin usaha perusahaan
asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah, Pasal 32
mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan
asuransi dan perusahaan reasuransi konvensional, dan Pasal 33 mengenai
pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi
dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.
2. Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 424/ KMK.06/2003 tentang
Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal
15-18 mengenai kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai
oleh perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip
syariah.
3. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan
Nomor Kep. 4499/ LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan
Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan
Sistem Syariah.
Dalam konsep syariah (hukum) Islam terdapat suatu terminologi yang membedakan hubungan manusia dengan Tuhan (hablum minallah) di satu sisi dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablum minannaas) dan lingkungan sekitarnya (hablum minal alam) di
sisi lainnya [1]. Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan seperti peribadatan misalnya adalah bersifat limitatif artinya
tidak dimungkinkan bagi manusia untuk mengembangkannya.
Sedangkan
hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan
lingkungan alam di sekitarnya adalah bersifat terbuka, artinya Allah SWT
dalam Al-Qur’an hanya memberikan aturan yang bersifat garis besarnya
saja. Selebihnya adalah terbuka bagi kalangan ulama mujtahid untuk
mengembangkan melalui pemikirannya. Lapangan kehidupan ekonomi termasuk
di dalamnya usaha perasuransian, digolongkan dalam hukum-hukum yang
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya yang disebut dengan hukum muamalah, oleh karena itu bersifat terbuka dalam pengembangannya.
Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda assurantie (asuransi), yang dalam hukum Belanda disebut dan verzekering yang artinya pertanggungan. Dalam bahasa Inggris, asuransi disebut insurance
bermakna asuransi juga jaminan, yang dalam bahasa Indonesia telah
menjadi bahasa populer dan diadopsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
dengan padanan kata “pertanggungan”. Bila merujuk kepada Bahasa Arab,
padanan kata Asuransi adalah تأمين (ta’min).
Pengertian
asuransi dalam konteks usaha perasuransian menurut syariah atau
asuransi Islam secara umum sebenarnya tidak jauh berbeda dengan asuransi
konvensional. Di antara keduanya, baik asuransi konvensional maupun
asuransi syariah mempunyai persamaan yaitu perusahaan asuransi hanya
berfungsi sebagai fasilitator dan intermediasi hubungan struktural
antara peserta penyetor premi (penanggung) dengan peserta penerima
pembayaran klaim (tertanggung). Secara umum asuransi Islam atau sering
diistilahkan dengan takaful dapat digambarkan sebagai asuransi
yang prinsip operasionalnya didasarkan pada syariat Islam dengan mengacu
kepada Al-Qur’an dan As-Sunah [2].
Dalam menerjemahkan istilah asuransi ke dalam konteks asuransi Islam terdapat beberapa istilah, antara lain takaful (bahasa Arab), ta’min (bahasa Arab) dan Islamic insurance (bahasa
Inggris). Istilah-istilah tersebut pada dasarnya tidak berbeda satu
sama lain yang mengandung makna pertanggungan atau saling menanggung.
Namun dalam prakteknya istilah yang paling populer digunakan sebagai
istilah lain dari asuransi dan juga paling banyak digunakan di beberapa
negara termasuk Indonesia adalah istilah takaful. Istilah takaful ini pertama kali digunakan oleh Dar Al Mal Al Islami, sebuah perusahaan asuransi Islam di Geneva yang berdiri pada tahun 1983.
Istilah takaful dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar kafala-yakfulu-takafala-yatakafalu-takaful yang
berarti saling menanggung atau menanggung bersama. Kata takaful tidak
dijumpai dalam Al-Qur’an, namun demikian ada sejumlah kata yang seakar
dengan kata takaful, seperti misalnya dalam QS. Thaha (20): 40 “… hal adullukum ‘ala man yakfuluhu…”. Yang artinya ”… bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya (menanggungnya)?…”
Apabila kita memasukkan asuransi takaful ke dalam lapangan kehidupan muamalah, maka takaful
dalam pengertian muamalah mengandung arti yaitu saling menanggung
risiko di antara sesama manusia sehingga di antara satu dengan lainnya
menjadi penanggung atas risiko masing-masing. Dengan demikian, gagasan
mengenai asuransi takaful berkaitan dengan unsur saling menanggung
risiko di antara para peserta asuransi, di mana peserta yang satu
menjadi penanggung peserta yang lainnya.
Tanggung-menanggung
risiko tersebut dilakukan atas dasar kebersamaan saling tolong-menolong
dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana yang
ditujukan untuk menanggung risiko tersebut
[3]. Perusahaan asuransi
takaful hanya bertindak sebagai fasilitator dan mediator proses saling
menanggung di antara para peserta asuransi. Hal inilah salah satu yang
membedakan antara asuransi takaful dengan asuransi konvensional, di mana
dalam asuransi konvensional terjadi saling menanggung antara
perusahaan asuransi dengan peserta asuransi.
Perkembangan Asuransi Syariah
Lembaga
asuransi sebagaimana dikenal sekarang ini sesungguhnya belum dikenal
pada periode awal Islam, akibatnya banyak literatur Islam menyimpulkan
secara apriori bahwa asuransi tidak dapat dipandang sebagai praktik yang
halal. Walaupun secara jelas mengenai lembaga asuransi ini tidak
dikenal pada periode awal Islam, akan tetapi terdapat beberapa aktivitas
dari kehidupan pada masa Rasulullah yang mengarah pada prinsip-prinsip
asuransi. Misalnya konsep tanggung jawab bersama yang disebut dengan
sistem ’aqilah. Sistem tersebut telah berkembang pada
masyarakat Arab sebelum lahirnya Rasulullah SAW Kemudian pada zaman
Rasulullah SAW atau pada masa periode awal Islam sistem tersebut
dipraktekkan di antara kaum Muhajirin dan Anshar. Sistem ’aqilah adalah
sistem menghimpun para anggota keluarga besar untuk menyumbang dalam
suatu tabungan bersama yang dikenal sebagai “kanz”. Tabungan ini
bertujuan untuk memberikan pertolongan kepada keluarga korban yang
terbunuh secara tidak sengaja dan untuk membebaskan hamba sahaya.
Kemunculan
usaha perasuransian syariah tidak dapat dilepaskan dari keberadaan
usaha perasuransian konvensional yang telah ada sejak lama. Sebelum
terwujudnya usaha perasuransian syariah, terdapat berbagai macam
perusahaan asuransi konvensional yang telah lama berkembang. Jika
ditinjau dari segi hukum perikatan Islam asuransi konvensional hukumnya
haram. Hal ini dikarenakan dalam operasional asuransi konvensional
mengandung unsur gharar (ketidakpastian), maysir (spekulasi/gambling) dan riba (bunga). Pendapat
ini disepakati oleh banyak ulama terkenal dunia seperti Yusuf
al-Qaradhawi, Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqili, Muhammad Bakhil
al-Muth’i, Abdul Wahab Khalaf, Muhammad Yusuf Musa, Abdurrahman Isa,
Mustafa Ahmad Zarqa, dan Muhammad Nejatullah Siddiqi. Namun demikian,
karena alasan kemaslahatan atau kepentingan umum sebagian dari mereka
membolehkan untuk sementara belum ada alternatif yang sesuai syariah
beroperasinya asuransi konvensional [4].
Di Malaysia, pernyataan
bahwa asuransi konvensional hukumnya haram diumumkan pada tanggal 15
Juni 1972 di mana Jawatan Kuasa Fatwa Malaysia mengeluarkan keputusan
bahwa praktik asuransi jiwa di Malaysia hukumnya menurut Islam adalah
haram. Selain itu Jawatan Kuasa Kecil Malaysia dalam kertas kerjanya
yang berjudul ”Ke Arah Insurans Secara Islami di Malaysia” menyatakan
bahwa asuransi masa kini mengikuti cara pengelolaan Barat dan sebagian
operasinya tidak sesuai dengan ajaran Islam [5].
Dalam rangka
pengembangan perekonomian umat jangka panjang, masyarakat muslim perlu
konsisten mengaplikasikan prinsip-prinsip perniagaan syariah berdasarkan
nash-nash (teks-teks dalil agama) yang jelas atau
pendapat para pakar ekonomi Islam. Untuk itu usaha perasuransian
berlandaskan prinsip syariah merupakan lembaga ekonomi syariah yang
dapat membawa umat Islam ke arah kemakmuran patut diwujudkan dan merupakan sebuah keniscayaan.
Berdasarkan
pemikiran bahwa asuransi konvensional hukumnya adalah haram, maka
kemudian dirumuskan bentuk asuransi yang terhindar dari ketiga unsur
yang diharamkan Islam tersebut di atas yaitu gharar, maisir dan riba.
Berdasarkan hasil analisis terhadap hukum (syariat) Islam dapat
disimpulkan bahwa di dalam ajaran Islam termuat substansi perasuransian.
Asuransi yang termuat dalam substansi hukum Islam tersebut ternyata
dapat menghindarkan prinsip operasional asuransi dari unsur gharar, maisir dan riba.
Dengan
adanya keyakinan umat Islam di dunia dan keuntungan vang diperoleh
melalui konsep asuransi syariah, lahirlah berbagai perusahaan asuransi
yang menjalankan usaha perasuransian berlandaskan prinsip syariah.
Perusahaan yang mewujudkan asuransi syariah ini bukan saja perusahaan
yang dimiliki orang Islam, namun juga berbagai perusahaan milik
non-muslim serta ada yang secara induk perusahaan berbasis konvensional
ikut terjun usaha memberikan layanan asuransi syariah dengan membuka
kantor cabang dan divisi syariah.
Seiring dengan bergulirnya waktu
dan ijtihad para pemerhati ekonomi Islam secara kontinyu, akhirnya
mereka sampai kepada sebuah konsep yang dapat disepakati bersama serta
menjadi acuan perasuransian syariah di dunia. Konsep tersebut populer
dengan nama asuransi mutual, kerja sama (ta’awuni), atau takmin ta’awuni. Konsep Asuransi Ta’awuni merupakan
rekomendasi fatwa Muktamar Ekonomi Islam yang bersidang kali pertama
tahun 1976 M di Mekah. Peserta hampir 200 orang dari kalangan ulama.
Kemudian dikuatkan lagi dalam sidang Majma’ Fiqh Islami ‘Alami (Lembaga Fiqih Dunia) pada 21 Desember 1985 di Jeddah yang memutuskan pengharaman Asuransi Jenis Perniagaan (Komersial). Majma’ Fiqih juga secara ijma’ mengharuskan dioperasikannya usaha perasuransian jenis kerja sama (ta’awuni) sebagai alternatif menggantikan jenis asuransi konvensional serta menyerukan umat Islam dunia menggunakan asuransi ta’awuni [6].
Dalam rangka menindaklanjuti fatwa tersebut dan kebutuhan umat terhadap
asuransi berdasarkan hukum Islam, Pada dekade 70-an di beberapa negara
Islam atau di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim
bermunculan asuransi yang prinsip operasionalnya mengacu kepada
nilai-nilai Islam dan terhindar dari ketiga unsur yang diharamkan Islam.
Pada tahun 1979 Faisal Islamic Bank of Sudan memprakarsai berdirinya
perusahaan asuransi syariah Islamic Insurance Co. Ltd. di Sudan dan Islamic Insurance Co. Ltd. di Arab Saudi. Keberhasilan asuransi syariah ini kemudian diikuti oleh berdirinya Dar al-Mal al-Islami di Geneva, Swiss dan Takaful Islami di Luxemburg, Takaful Islam Bahamas di Bahamas dan al-Takaful al-Islami di Bahrain pada tahun 1983. Di Malaysia, Syarikat Takaful Sendirian Berhad berdiri pada tahun 1984 [7]. Selanjutnya diikuti oleh negara-negara lain seperti Bahrain, UAE, Brunei, Singapura, dan Indonesia.
Di
Indonesia, Asuransi Takaful baru muncul pada tahun 1994 seiring dengan
diresmikannya PT Syarikat Takaful Indonesia yang kemudian mendirikan 2
anak perusahaan yaitu PT Asuransi Takaful Keluarga pada tahun 1994 dan
PT Asuransi Takaful Umum pada tahun 1995. Gagasan dan pemikiran
didirikannya asuransi berlandaskan syariah sebenarnya sudah muncul tiga
tahun sebelum berdirinya takaful dan makin kuat setelah diresmikannya
Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1991. Dengan beroperasinya Bank-bank
Syariah dirasakan kebutuhan akan kehadiran jasa asuransi yang
berdasarkan syariah pula. Berdasarkan pemikiran tersebut Ikatan
Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada tanggal 27 Juli 1993 melalui
Yayasan Abdi Bangsa bersama Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan
perusahaan Asuransi Tugu Mandiri sepakat memprakarsai pendirian asuransi
takaful [8].
Saat ini perusahaan asuransi yang benar-benar secara
penuh beroperasi sebagai perusahaan asuransi syariah ada tiga, yaitu
Asuransi Takaful Keluarga, Asuransi Takaful Umum, dan Asuransi
Mubarakah. Selain itu ada beberapa perusahaan asuransi konvensional yang
membuka cabang syariah di antaranya seperti Prudential Syariah, MAA,
Great Eastern, Tripakarta, Beringin Life, Bumiputra, Dharmala, dan
Jasindo.
– Bersambung
Catatan Kaki:
[1] Lihat Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cet. 7, PT RajaGrafmdo Persada, Jakarta 1999, hlm. 31
[2] H. A. Djajuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonamian Umat (Sebuah Pengenalan), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 120.
[3] Rahmat Husein, Asuransi Takaful Selayang Pandang dalam Wawasan Islam dan Ekonomi, Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta, 1997, hlm. 234.
[4] Jafril Khalil, Asuransi Syariah dalam Perspektif Ekonomi: Sebuah Tinjauan, Jurnal Hukum Bisnis Volume 22, Nomor 2 Tahun 2003, hlm. 46.
[5] Karnaen A. Perwataatmadja, Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia, Usaha Kami, Depok, 1996, hlm. 230.
[6] Wabbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al- Islami wa Adillatuhu, Darul Fikr, Damaskus, 1984, hlm. 5/3423
[7] M. Abdul Mannan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam (Islamic Economics, Theory and Practice), Diterjemahkan oleh M. Nastangin, PT Dana Bhakti,Wakaf, Yogyakarta, 1997, hlm. 305.
[9] Training & Development Department, Basic Training Modul 2002, Training & Development Department Asuransi Syariah Takaful, Jakarta, 2002, hlm. 20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar