Selasa, 25 Desember 2012

Karena Engkau Pasti Akan Meninggalkannya

Oleh : M. Lili Nur Aulia

Sejauh mana kita pernah merenungi kematian? Jika ternyata tak lama lagi jatah hidup ini sampai pada titik penghabisannya. Saat ruh melayang, dan tak mungkin kembali lagi ke jasad. Jasad yang sudah puluhan tahun menjadi tempat semayamnya. Mungkin dua puluhan tahun, tiga puluhan tahun, empat puluhan tahun, sampai seterusnya. Ketika ruh dalam tubuh ini pergi melepas semua yang kasat. Meninggalkan semua yang pernah tersentuh di dunia. Dan, sekali lagi, ia tidak akan pernah kembali lagi. Takkan pernah kembali lagi.

Saudaraku,
Bagaimana kabar dunia yang kita tinggalkan? Lebih mengerikan lagi, bagaimana kabar akhirat yang akan menjadi tempat tinggal? Apa yang sudah kita lakukan dengan jasad ini, sepanjang puluhan tahun? Ada berapa banyak penggalan usia yang kita gunakan untuk menanam kebaikan di alam setelah di dunia ini? Ada berapa lama waktu yang kita luangkan untuk menghamba, tunduk, terpekur, dzikir, beribadah kepada Allah swt yang telah memberi kehidupan ini?

Saudaraku,
Sudah sejak dahulu, kita diseru untuk mengambil perbekalan untuk menghadapi kematian itu. Kita pun yakin, kelak kita akan bertemu Allah swt. Berhadapan dengan Allah swt tanpa perantara dan tanpa penerjemah. Berdiri di hadapan Allah Yang Maha Kuasa. Ketika, tangan, kaki dan semua tubuh kira berbicara tentang apa yang kita lakukan. Dengarkanlah nasihat Jibril alaihissalam kepada Rasulullah saw, "Ya Muhammad, hiduplah semaumu, karena sesungguhnya engkau pasti akan mati. Cintailah siapapun yang engkau cintai sekehendakmu, karena engkau pasti berpisah dengannya. Lakukanlah apa yang engkau ingin lakukan, karena engkau pasti akan diberi balasan atas perbuatanmu." (HR.Hakim)

Saudaraku,
Ulang-ulanglah nasihat Jibril itu di telinga, pikiran dan hati kita...

Saudaraku,
Hiduplah sesuka kita, karena kita akan mati. Lakukanlah apapun yang kita suka. Karena semua akan berbalas. Berapapun panjangnya usia yang diberikan. Akan ada batasnya. Sepanjang apapun waktu yang dijatah. Kematian sedang dalam perjalanan menuju kita. Tanpa ada yang tahu kapan ia datang menjemput. Lalu, bagaimana keadaan kita yang akan didatangi kematian?

Dahulu, karena keshalihannya, orang-orang shalih sangat optimis dengan apa yang mereka lalui selama di dunia. Mereka mungkin berlinang air mata saat mengingat kematian. Tapi mereka optimis dengan kehidupan yang dilaluinya, karena keshalihannya. Ibrahim bin Adham rahimullah pernah mengatakan, "Kami berada di sebuah kehidupan, yang bila nikmatnya hidup ini diketahui raja-raja, niscaya mereka akan menguliti kita dengan pedang-pedangnya." Sangat berbeda sekali dengan sebagian kita. Meski dengan limpahan karunia yang luar biasa, namun tetap banyak keluhan dan rintihan tidak syukur atas kenikmatan yang Allah berikan. Jauh sekali kondisinya dengan sebagian kita. Yang melalui hidup dengan pertolongan, bantuan, dukungan Allah swt hingga saat ini, tapi tetap tidak merasa kehidupan ini membahagiakan.

Ibnu Taimiyah rahimahullah, tokoh salafushalih yang banyak mengorbankan hidupnya untuk mengabdi pada ilmu dan dakwah juga mengatakan sesuatu yang mirip dengan ungkapan Ibrahim bin Adham. Katanya, "Sungguh ada suatu kondisi yang melintas pada hati, saya katakan, "Bila penduduk surga merasakan kondisi kami, niscaya mereka sudah merasakan kehidupan yang baik. "Ia juga mengatakan, "Sungguh ada beberapa kondisi yang melintas pada hati yang bergemuruh oleh bahagia karena dzikir kepada Allah swt dan merasa rindu dengan-Nya."

Saudaraku,
Mengapa kita jarang sekali merasakan kenikmatan hidup seperti mereka? Mengapa kita sangat sulit memahami keindahan yang mereka ungkapkan itu? Lalu kita pun merasa tak berhak memiliki harapan kebahagiaan di akhirat kelak. Sangat jauh dengan sikap Ibnu Taimiyah rahimahullah. Saat dimasukkan ke dalam penjara dan pintu penjara ditutup di hadapannya, ia sempat melantunkan firman Allah swt surat Al Hadid ayat 13, "Fadhuriba bainahum bi suurin lahuu baabun baathinuhu fiihirrahmah wa zaahiruhuu min qibalihil azaab"... Lalu dijadikan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya (sesungguhnya) adalah rahmat namun di sebelah luarnya tampak (seperti) siksa..." Lalu sang hamba Allah itu mengatakan, "Apa yang bisa dilakukan musuh-musuhku? Diriku adalah surgaku. Taman bagiku adalah isi dadaku. Dimanapun aku berada ia bersamaku. Jika mereka membunuhku, maka kematianku adalah mati syahid. Dan bila mereka mengusirku dari tanah airku, maka itu adalah wisata, dan bila mereka memenjarakanku, maka itu adalah khalwat (penyendirianku) bersama Allah swt." Bagi sang Imam, tak ada sejumput ruang waktu yang menyurutkan kesyukuran dan kebahagiaannya. Baik di dunia maupun di akhirat.

Saudaraku,
Merekalah orang-orang yang mengatakan, "Apa yang bisa diperoleh dengan kehilangan Allah swt? Apa yang bisa hilang bagi orang yang mendapatkan Allah swt? Siapapun yang mendapatkan Allah berarti ia akan mendapatkan semuanya. Siapapun yang kehilangan Allah ia kehilangan semuanya." Di antara mereka ada yang mengatakan. "Mengucapkan Subhanallah, Alhamdulillah, Laailaaha illallah, Allahu Akbar, itu lebih aku sukai daripada apa yang disinari matahari." Bahkan mereka sangat mensyukuri apa yang mereka alami, meski kondisi mereka berbeda jauh secara lahir dengan para pemilik harta. Seorang salaf mengatakan pada orang-orang kaya, "Kami makan, mereka juga makan. Kami minum, merekapun minum. Kami melihat, merekapun melihat. Tapi, kami tidak dihisab karena kekayaan kami, sedangkan mereka akan dihisab karena kekayaan mereka."

Saudaraku, 
Jika kematian itu tiba, kita pasti bertanya, bagaimana kabar dunia yang kita tinggalkan? Lebih mengerikan lagi, bagaimana kabar akhirat yang akan menjadi tempat tinggal?

Sumber : Majalah Tarbawi, Edisi 191 Th. 10, Dzulqa'dah 1429 H / 27 November 2008 M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar