Kamis, 24 Januari 2013

Melukis di Bibir, Mengotori di Perbuatan


Oleh : Dedi Setiawan

"Hari ini manusia kehilangan eksistensi. Cita-cita tanpa orientasi.Visi tanpa ideologi. Raga bergerak tanpa jiwa, tanpa rasa. Menapaki hari-hari dengan payah yang kian bertambah. Dunia menguasai jiwa. Kemuliaan luruh bersama tetes-tetes peluh kehinaan. Manusia jatuh dalam lembah nadir kehinaan”.
 
Belakangan ini kita dihadapkan pada banyak cita-cita mulia dunia, namun sayang orientasinya tidak begitu jelas. Mungkin saat ini kita hanya jadi pengikut, tanpa mengetahui dengan pasti apa makna dari sesuatu yang kita ikuti itu. Ya, mungkin karena makna yang tidak begitu jelas itu, ditambah lagi orientasinya yang masih samar-samar, diperparah dengan hilangnya teladan untuk dicontoh, banyak diantara kita yang “hanya” bergerak, tapi tanpa jiwa, tanpa rasa. Mungkin banyak diantara kita yang telah benar-benar menjadi “mayat hidup” dalam arti yang sebenarnya. Hiy, mengerikan!

Adalah amerika, sebuah negara adidaya saat ini, yang menggaungkan demokrasi. Amerika berteriak lantang mengumbar janji-janji manis seputar demokrasi; diantaranya adalah keadilan yang merata, aspirasi rakyat diakomodasi, menjunjung tinggi pemilihan pemimpin yang dipilih oleh rakyat berdasarkan hasil pemilu (pemilihan umum). Tapi, beberapa waktu yang lalu kita dikejutkan dengan sikap Amerika terhadap terhadap kemenangan Hamas (Harakah Muqawamah Islamiyyah) dalam pemilu di Palestina. Semua pihak yang menjadi pemantau pemilu tersebut mengakui bahwa pemilu tersebut adalah pemilu yang demokratis dalam arti yang sebenar-benarnya, tanpa kecurangan dan politik uang. Tapi, Amerika dengan arogan memboikot hasil pemilu tersebut. Dan Amerika menekan semua fraksi yang ada di Palestina untuk tidak ikut dalam pemerintahan koalisi Hamas. Ini berarti, Amerika menghambat salah satu langkah demokrasi yang diambil oleh Hamas, yaitu power sharing. Apalah daya sebuah pemerintahan yang bergerak sendirian, sedangkan yang lain menjadi oposisinya. Air mata kita pun mungkin telah berderai deras menyaksikan penghancuran terstruktur yang terjadi di bumi Palestina. Dengan didalangi oleh Amerika dan Israel, pemerintahan Palestina diboikot, sarana umum dihancurkan, rumah-rumah di ratakan dengan tanah, pemudanya ditahan. Lalu, diamkah umat islam? Tidak! Bantuan mengalir untuk saudara tercinta di Palestina. Tapi sekali lagi, uang tersebut dihalang-halangin untuk masuk ke palestina. Palestina pun terluka, rakyatnya menderita, dan umat islam berduka.

Sebenarnya ini bukan trend baru kelompok pembenci Islam. Jauh-jauh hari sebelum peradaban Amerika yang sombong, angkuh, dan kotor terbentuh, nenek moyang kaum munafik, yang senantiasa mengucapkan hal-hal yang baik di depan, tetapi menikam dari belakang, telah memberi contoh kepada calon pengikutnya. Maka saat ini tercatatlah sejarah menjijikkan tentang Abdullah bin Ubay, dedengkot kaum munafik, yang pada perang Uhud, dengan teganya menarik pasukannya dari satuan perang yang dikomandani oleh Rasulullah, padahal sebelumnya ia telah bersedia untuk ikut berperang bersama Rasulullah. Di saat-saat ke dua pasukan saling mengintai, di saat itulah Abdullah bin Ubay melakukan teror terhadap pasukan kaum muslimin, bukan teror dari luar, tapi teror dari dalam, tepat dari jantung pertahanan kaum muslimin. Ia menarik pasukannya dari medan peperangan. Tahu benar rupayanya ia bagaimana menjatuhkan mental pasukan kaum muslimin, hingga hasil pemboikotannya itu mengakibatkan jumlah pasukan kaum muslimin berkurang hingga sepertiga dari jumlah semula. Akhir perang ini begitu memilukan, pasukan muslimin ditekan, para syuhada dicincang, bahkan Rasul pun mendapat luka di wajahnya. Ya Allah, wajah mulia nan bersahaja itu pun harus terluka berdarah-darah.

Penghianatan selalu menimbulkan luka bagi yang dihianati. Sakit, perih, dan menimbulkan rasa benci yang tak berkesudahan. Bagi orang yang dihianati, ia adalah duri dalam daging. Bagi orang yang ia bantu dengan tingkah penghianatannya, ia tidak lebih bagai anjing penjilat. Maka tidaklah salah sikap Napoleon yang melemparkan uang seraya mengatakan “Tidak, penghianat bangsa sepertimu tidak patut mendapatkan kehormatan, ambil uang yang menjadi impian tertinggimu, itulah nilai dirimu”, kepada seorang penghianat bangsa ketika sang penghianat berkata “izinkan aku mencium tanganmu”.

Begitulah sejarah mengungkapkan bahwa orang paling berbahaya adalah orang yang manis tutur katanya tapi licik perbuatannya. Kata-katanya seindah mawar yang merekah seraya menyebarkan aroma yang harum semerbak, tapi perbuatannya hina bagai bangkai yang menjijikkan. Bagaimana dengan kita, apakah kita orang yang senantiasa mendengungkan kebaikan tapi perbuatan kita menunjukkan keburukan? Semoga saja kita mampu menjawab dengan tegas, Bukan!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar