Oleh : Dedi Setiawan
"Hari ini manusia kehilangan
eksistensi. Cita-cita tanpa orientasi.Visi tanpa ideologi. Raga bergerak tanpa
jiwa, tanpa rasa. Menapaki hari-hari dengan payah yang kian bertambah. Dunia
menguasai jiwa. Kemuliaan luruh bersama tetes-tetes peluh kehinaan. Manusia
jatuh dalam lembah nadir kehinaan”.
Belakangan ini kita dihadapkan pada banyak cita-cita mulia dunia,
namun sayang orientasinya tidak begitu jelas. Mungkin saat ini kita
hanya jadi pengikut, tanpa mengetahui dengan pasti apa makna dari
sesuatu yang kita ikuti itu. Ya, mungkin karena makna yang tidak begitu
jelas itu, ditambah lagi orientasinya yang masih samar-samar, diperparah
dengan hilangnya teladan untuk dicontoh, banyak diantara kita yang
“hanya” bergerak, tapi tanpa jiwa, tanpa rasa. Mungkin banyak diantara
kita yang telah benar-benar menjadi “mayat hidup” dalam arti yang
sebenarnya. Hiy, mengerikan!
Adalah amerika, sebuah negara adidaya saat ini, yang menggaungkan demokrasi. Amerika berteriak lantang mengumbar janji-janji manis seputar demokrasi; diantaranya adalah keadilan yang merata, aspirasi rakyat diakomodasi, menjunjung tinggi pemilihan pemimpin yang dipilih oleh rakyat berdasarkan hasil pemilu (pemilihan umum). Tapi, beberapa waktu yang lalu kita dikejutkan dengan sikap Amerika terhadap terhadap kemenangan Hamas (Harakah Muqawamah Islamiyyah) dalam pemilu di Palestina. Semua pihak yang menjadi pemantau pemilu tersebut mengakui bahwa pemilu tersebut adalah pemilu yang demokratis dalam arti yang sebenar-benarnya, tanpa kecurangan dan politik uang. Tapi, Amerika dengan arogan memboikot hasil pemilu tersebut. Dan Amerika menekan semua fraksi yang ada di Palestina untuk tidak ikut dalam pemerintahan koalisi Hamas. Ini berarti, Amerika menghambat salah satu langkah demokrasi yang diambil oleh Hamas, yaitu power sharing. Apalah daya sebuah pemerintahan yang bergerak sendirian, sedangkan yang lain menjadi oposisinya. Air mata kita pun mungkin telah berderai deras menyaksikan penghancuran terstruktur yang terjadi di bumi Palestina. Dengan didalangi oleh Amerika dan Israel, pemerintahan Palestina diboikot, sarana umum dihancurkan, rumah-rumah di ratakan dengan tanah, pemudanya ditahan. Lalu, diamkah umat islam? Tidak! Bantuan mengalir untuk saudara tercinta di Palestina. Tapi sekali lagi, uang tersebut dihalang-halangin untuk masuk ke palestina. Palestina pun terluka, rakyatnya menderita, dan umat islam berduka.
Sebenarnya ini bukan trend baru kelompok pembenci Islam. Jauh-jauh
hari sebelum peradaban Amerika yang sombong, angkuh, dan kotor
terbentuh, nenek moyang kaum munafik, yang senantiasa mengucapkan
hal-hal yang baik di depan, tetapi menikam dari belakang, telah memberi
contoh kepada calon pengikutnya. Maka saat ini tercatatlah sejarah
menjijikkan tentang Abdullah bin Ubay, dedengkot kaum munafik, yang pada
perang Uhud, dengan teganya menarik pasukannya dari satuan perang yang
dikomandani oleh Rasulullah, padahal sebelumnya ia telah bersedia untuk
ikut berperang bersama Rasulullah. Di saat-saat ke dua pasukan saling
mengintai, di saat itulah Abdullah bin Ubay melakukan teror terhadap
pasukan kaum muslimin, bukan teror dari luar, tapi teror dari dalam,
tepat dari jantung pertahanan kaum muslimin. Ia menarik pasukannya dari
medan peperangan. Tahu benar rupayanya ia bagaimana menjatuhkan mental
pasukan kaum muslimin, hingga hasil pemboikotannya itu mengakibatkan
jumlah pasukan kaum muslimin berkurang hingga sepertiga dari jumlah
semula. Akhir perang ini begitu memilukan, pasukan muslimin ditekan,
para syuhada dicincang, bahkan Rasul pun mendapat luka di wajahnya. Ya
Allah, wajah mulia nan bersahaja itu pun harus terluka berdarah-darah.
Penghianatan selalu menimbulkan luka bagi yang dihianati. Sakit, perih, dan menimbulkan rasa benci yang
tak berkesudahan. Bagi orang yang dihianati, ia adalah duri dalam
daging. Bagi orang yang ia bantu dengan tingkah penghianatannya, ia
tidak lebih bagai anjing penjilat. Maka tidaklah salah sikap Napoleon
yang melemparkan uang seraya mengatakan “Tidak, penghianat bangsa
sepertimu tidak patut mendapatkan kehormatan, ambil uang yang menjadi
impian tertinggimu, itulah nilai dirimu”, kepada seorang penghianat bangsa ketika sang penghianat berkata “izinkan aku mencium tanganmu”.
Begitulah sejarah mengungkapkan bahwa orang paling berbahaya adalah
orang yang manis tutur katanya tapi licik perbuatannya. Kata-katanya
seindah mawar yang merekah seraya menyebarkan aroma yang harum semerbak,
tapi perbuatannya hina bagai bangkai yang menjijikkan. Bagaimana dengan
kita, apakah kita orang yang senantiasa mendengungkan kebaikan tapi
perbuatan kita menunjukkan keburukan? Semoga saja kita mampu menjawab
dengan tegas, Bukan!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar